Triliunan Rupiah Bisnis Prostitusi di Indonesia

Triliunan Rupiah Bisnis Prostitusi di Indonesia
Ilustrasi prostitusi. foto kumparan
JAKARTA - Bisnis remang-remang, seperti prostitusi, merupakan ladang subur perputaran uang di berbagai negara. Bahkan bisa mencapai miliaran dolar AS per tahun.
 
Mengutip data global black market atau 'pasar hitam' global, Havocscope, perputaran uang dari bisnis prostitusi bisa mencapai USD 186 miliar atau sekitar Rp 2.641 triliun (kurs Rp 14.200) per tahun.
 
Angka yang dilansir Havocscope -lembaga yang berfokus pada penyediaan data ‘pasar hitam’- itu, bahkan lebih besar dari belanja negara dalam APBN Republik Indonesia, yang sebesar Rp 2.461 triliun di sepanjang 2019.
 
Jika putaran uang bisnis prostitusi global mencapai ribuan triliun rupiah, lantas, bagaimana dengan di Indonesia?
 
Dilansir dari kumparan yang menelusurinya, langsung dari hilir dengan memotret data penghasilan para Pekerja Seks Komersial (PSK). Tentunya tak akan disebut ‘pasar hitam’ jika data sektor bisnis ini, tersedia bebas dan mudah diakses.
 
Penelusuran kali ini dimulai dari bisnis hiburan berlabel ‘Spa dan Karaoke’. Tempatnya di sebuah bangunan di kawasan elite Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Lokasinya ada di pemukiman rumah-rumah mewah, milik sejumlah pejabat, pengusaha, dan sosok terkemuka lainnya.
 
Begitu masuk ke bangunan itu, seorang perempuan muda menyambut di meja resepsionis. Paket karaoke kelas VIP selama 4 jam pun dipesan. Tarifnya Rp 3 juta. Dalam paket ini sudah termasuk dua perempuan pemandu lagu atau Ladies Companion (LC). Dua LC tersebut dipilih dari 15 wanita yang disodorkan pihak pengelola.
 
Ilustrasi tempat karaoke. foto: Shutter Stock
 
Sebut saja namanya Lucy dan Yeni, mereka berdua LC yang menemani kumparan. Dalam cahaya temaram, masih terlihat semburat bedak dan makeup tebal keduanya.
 
Aroma parfum menyengat, seakan siap untuk menerima dekapan hangat. Sapaan ramah dan perbincangan basa-basi, menemani kami menelusuri lorong hingga sampai ke sebuah ruangan berukuran sekitar 10x10 meter.
 
Di dalamnya ada sebuah sofa berbentuk lengkung. Ukurannya cukup panjang, bisa menampung hingga 10 orang. Di depan sofa itu ada meja dengan permukaan kaca. Sofa itu sendiri menghadap ke sebuah layar tv plasma besar yang menempel di dinding.
 
Sedangkan di sisi kirinya ada sebuah meja cukup panjang. Berisi sajian sejumlah minuman dan snack untuk tamu pengunjung. Ruangan itu juga ada toilet di bagian dalamnya.
 
Lagu demi lagu dilewati. Tentu saja diselingi nyanyian, kami ngobrol ngalor-ngidul dan bercanda-canda. Setiap sampai pada topik lucu, kami tertawa bersama. Lepas…!
 
Pertemuan pertama itu terasa seperti perjumpaan kawan akrab. Lucy atau pun Yeni, tak canggung menyandarkan badannya. Tangan yang satu menggenggam mic, sementara yang lain melingkar ke punggung tamu.
 
Prostitusi di Balik Spa dan Karaoke
 
Suhu ruangan dingin, menyentuh 16 derajat celcius. Waktu tak terasa berlalu, meski belum sampai 4 jam. Dua perempuan yang usianya baru menginjak 30-an tahun itu, mulai merayu pelanggan supaya tak mengakhiri perjumpaan di ruang karaoke itu.
 
"Ke atas yuk… Ayok ke atas," katanya merajuk, setengah memaksa. Yang mereka maksud ‘ke atas’ adalah bilik-bilik kamar tempat layanan seks, prostitusi terselubung di balik tempat hiburan spa dan karaoke.
 
Ilustrasi panti pijat. foto: Pixabay
 
Untuk layanan ‘khusus’ itu, penjual jasa dan pelanggan bisa melakukan negosiasi pada saat karaoke. Lucy menyepakati harga Rp 400.000 untuk sekali hubungan badan.
 
Dari Yeni, diperoleh pengakuan bahwa pelanggan mereka kebanyakan pekerja kantoran. Saat kumparan mengunjungi lokasi itu, juga menjumpai sejumlah tamu berwajah Amerika Latin. Ada juga pria-pria paruh baya berwajah oriental, datang bersama sejumlah temannya.
 
Memang tak semua tamu spa atau karaoke, juga menggunakan jasa prostitusi. Baik Lucy maupun Yeni mengaku, mendapat tamu yang menggunakan layanan ‘plus plus-nya’ rata-rata 3 orang dalam sehari. Sementara dalam satu bulan ia hanya libur 4 hari atau saat datang bulan.
 
"Sebulan hanya libur 4 hari. Kalau lagi datang bulan aja libur," tutur Lucy yang sudah tiga tahun menjadi penjaja seks komersial.
 
Bisa dihitung, setidaknya mereka masing-masing akan menggenggam Rp 31,2 juta per bulan. Dengan catatan ia kerja lancar selama 26 hari. Itu pun kalau dihitung tarifnya rata-rata Rp 400.000 per tamu.
 
"Kalau tamu ekspatriat asing, saya biasanya minta (bayaran) lebih," ujar Yeni.
 
Total pendapatan Rp 31,2 juta itu hanya dari layanan prostitusi saja. Belum termasuk pendapatan dari menemani karaoke dan massage.
 
Indonesia di Ranking 12
 
Uang yang didapat Lucy dan Yeny itu, bahkan lebih besar dari data yang dilansir Havocscope. Lembaga itu menyebut penghasilan rata-rata PSK di Indonesia, sebesar USD 784 - USD 1.120 atau sekitar Rp 11 juta - Rp 16 juta per bulan. Angka itu, belum termasuk prostitusi online, yang biasa ditawarkan melalui media sosial.
 
Havocscope mengungkapkan, di antara 24 negara yang mereka riset, total nilai transaksi prostitusi di Indonesia berada di peringkat ke-12. Transaksi prostitusi di Indonesia diklaim Havocscope mencapai USD 2,25 miliar atau sekitar Rp 32 triliun per tahun. Angka ini lebih tinggi dibandingkan Taiwan yang mencapai USD 1,84 miliar. 
 
Penulis buku ‘Jakarta Undercover’ Moammar Emka, punya angka yang berbeda dengan data Havocscope. Dia menaksir, omzet bisnis prostitusi bisa tembus Rp 24 triliun per tahun.
 
Bisnis prostitusi terbesar di dunia. Foto: Nunki Pangaribuan/kumparan
 
Angka itu, menurutnya, hanya untuk kelas menengah ke atas saja. Artinya, jika ditotal keseluruhan, bisa jadi angka-angka yang disebut Havocscope dan Moammar, hanyalah sebuah puncak gunung es dari sebuah bisnis beromzet raksasa.
 
Mengacu ke data Havocscope, omzet yang dicatatkan Indonesia bahkan masih lebih besar dibandingkan Belanda, negara yang melegalkan prostitusi. Belanda justru berada di urutan ke-17, dengan pendapatan dari sektor prostitusi sebesar USD 800 juta per tahun.
 
Urutan teratas bisnis prostitusi di dunia, diduduki China dengan nilai sebesar USD 73 miliar, Spanyol USD 26,5 miliar, dan Jepang USD 24 miliar. Jerman yang juga melegalkan bisnis prostitusi memiliki pendapatan ‘hanya’ sebesar USD 18 juta, dan Amerika Serikat (AS) sebesar USD 14,6 miliar. (kpr/red)

Berita Lainnya

Index