Jokowi Resmi Naikkan Iuran BPJS Kesehatan, Berikut Detail Kebijakannya

Jokowi Resmi Naikkan Iuran BPJS Kesehatan, Berikut Detail Kebijakannya
Ilustrasi BPJS Kesehatan. Foto Kompas
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi telah menyetujui kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang diteken pada 24 Oktober 2019.
 
Adapun kenaikan iuran itu berlaku bagi seluruh kategori peserta, baik Penerima Bantuan Iuran (PBI), Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri, serta Peserta Penerima Upah (PPU)‎ badan usaha swasta maupun PPU pemerintah.
 
Berikut fakta penting kenaikan iuran BPJS Kesehatan dilansir dari Kumparan:
 
1. Kenaikan Iuran PBPU dan PPU Mulai ‎1 Januari 2020
 
Presiden Jokowi menyetujui usulan tarif baru BPJS Kesehatan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), yakni penerima manfaat layanan kelas III sebesar Rp 42.000, kelas II sebesar Rp 110.000, dan kelas I sebesar Rp 160.000.
 
Berdasarkan Pasal 34 Ayat 2 Perpres tersebut, ‎kenaikan iuran itu mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2020. Hal itu sama seperti usulan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati saat memaparkan kenaikan iuran di depan anggota DPR.
 
"Ini berlaku Januari 2020. Iuran ini baru akan bisa membantu BPJS di tahun 2020," kata Sri Mulyani dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi IX DPR RI, Jakarta, Selasa 22 Agustus lalu.
 
2. Iuran PBI Naik Bulan Agustus 2019
 
Selain PPU dan PBPU, pemerintah juga menaikkan iuran BPJS Kesehatan bagi kategori PBI. Untuk PBI, pemerintah mulai memberlakukannya pada Agustus 2019. Meski Perpres baru ditandatangani Oktober 2019, namun aturan itu akan berlaku surut.
 
Dalam Pasal 103A Ayat 1‎ pada Perpres itu berbunyi bahwa pemerintah pusat akan memberikan bantuan sebesar Rp 19.000 per peserta PBI yang saat ini didanai oleh APBD. Tujuannya yakni agar beban keuangan Pemda tidak terlalu berat dengan adanya kenaikan ini.
 
3. Jika Tak Naik, Defisit Bisa Capai Rp 77 Triliun
 
BPJS Kesehatan diprediksi menanggung defisit Rp 77 triliun di tahun 2024 dikarenakan penerimaan iuran hanya Rp 133 triliun, sementara pembayaran klaim diramal mencapai Rp 220 triliun.
 
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris, menyebut bahwa hal itu akan terjadi jika tak terjadi perbaikan nilai iuran. Iuran saat ini dinilai terlalu rendah sehingga klaim yang harus dibayarkan begitu timpang.
 
"Defisit di tahun 2024 akan mencapai Rp 77 triliun kalau tidak melakukan perbaikan iuran," bebernya dalam rapat gabungan di Komisi XI DPR RI, Jakarta, Senin 2 September lalu.
 
Dia pun mengungkapkan di tahun 2019 jika iuran tak dinaikkan, defisit BPJS Kesehatan mencapai 32 triliun. Sementara di 2020 mencapai Rp 39 triliun, di 2021 mencapai Rp 50,1 triliun, di 2022 mencapai Rp 58 triliun, dan di 2023 mencapai Rp 67 triliun.
 
"Proyeksi 2019-2024 jika tidak ada upaya policy mix maka defisit ini akan semakin melebar. Melonjaknya defisit ini karena biaya orang per bulan semakin ke sini semakin lebar, dan perbedaan inilah yang menjadi situasi utama dalam kejadian defisit," kata Fachmi. (red)

Berita Lainnya

Index