23 Tahun Soeharto Lengser, Aktivis 98: Sekarang Musuh Kita Oligarki

23 Tahun Soeharto Lengser, Aktivis 98: Sekarang Musuh Kita Oligarki
MEDAN - Majelis Nasional Perhimpunan Pergerakan 98 menilai, cita-cita reformasi untuk memberikan perubahan kepada bangsa masih melenceng jauh setelah jatuhnya rezim orde baru 23 tahun yang lalu. Oligarki tidak boleh hidup lama di Indonesia.
 
Ketua Majelis Nasional Perhimpunan Pergerakan 98, Sahat Simatupang mengatakan, gagasan reformasi yang diinginkan dahulu bukanlah yang sekarang terlihat. Di mana partai politik dikuasai oligarki dengan sekelompok orang yang punya akses modal, kekuasaan dan ekonomi untuk mengendalikan partai dan kemudian partai politik mengendalikan negara.
 
"Sehingga hak-hak rakyat tentunya akan diambil oleh oligarki," ungkapnya kepada wartawan, dilansir law-justice.co, Jumat (21/5/2021).
 
Dijelaskannya, selama 22 tahun sejak reformasi pihaknya memang tidak lagi muncul dalam pergerakan. Karena itu mereka saat ini kembali berkumpul untuk bersama-sama melawan oligarki dan neo orba tersebut.
 
"Sampai kapan pun kami akan melawan, supaya masyarakat tahu bahwa oligarki tak boleh lama-lama hidup di Indonesia," jelasnya.
 
Menurutnya, mahasiwa saat ini juga perlu memiliki musuh bersama supaya bisa membangun bangsa. Dia menyayangkan, kampus yang merupakan simbol perlawanan mahasiswa sekarang malah sering dijadikan alat pragmatis.
 
"Mahasiswa tidak boleh begitu, kita harus memiliki musuh bersama. Siapa musuh bersama itu, adalah watak ingin menguasai, oligarki, dan neo orba," ujarnya.
 
Majelis Nasional Perhimpunan Pergerakan 98, lanjut Sahat, mengeluarkan 6 pernyataan sikap. Pertama, Presiden Joko Widodo harus menepati janji politiknya menuntaskan penembakan mahasiswa Trisakti dan mahasiswa lainnya secara hukum.
 
Kedua, reformasi ekonomi dengan kembali ke Pasal 33 UUD 1945. Saat ini, ekonomi Indonesia belum membaik karena dikelola dengan cara neoliberal - kapitalisme dan neofeodalisme.
 
Hal tersebut menurutnya sangat bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 yakni demokrasi ekonomi yang berpegang pada prinsip produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dan untuk tujuan kemakmuran rakyat.
 
"Pengelolaan ekonomi Indonesia saat ini persis seperti masa orba dikuasai oleh konglomerat bersama oligarki dalam bentuk kolusi dan nepotisme melahirkan sedikit orang kaya namun banyak orang miskin. Jumlah orang miskin Indonesia saat ini 27,55 juta jiwa," sebutnya.
 
Dampak terparah dari pengelolaan ekonomi neoliberal - kapitalisme dan neofeodalisme yang terlanjur mendarah daging, menurutnya adalah ketidakpercayaan kepada kekuatan modal sendiri atau berdiri di atas kaki sendiri (berdikari).
 
"Karena menggantungkan ekonomi suatu negara kepada modal (investasi) asing serta tidak mampu membatasi produk asing (impor)," terangnya.
 
Ketiga, penegakkan hukum yang adil. Sampai saat ini hukum masih merupakan hal yang menakutkan bagi orang miskin dan hukum dijadikan alat pemukul kepada yang lemah dan menjadi alat memenangkan kepentingan kelompok yang berkuasa.
 
Ke empat, menghentikan dan melawan politik transaksional yang melahirkan oligarki. Sebab, parpol sebagai lembaga politik formal yang berkompetisi merebut suara rakyat sejatinya dapat melahirkan pemimpin reformis.
 
Faktanya menjadi oligarki dan genk politik atau berkoalisi taktis demi kekuasaan sehingga mengubur sikap pembaharuan.
 
"Kelima, memperkuat pemberantasan korupsi dan melawan setiap upaya pelemahan pemberantasan korupsi dan keenam mendukung masa jabatan presiden 2 periode sesuai semangat reformasi," ujarnya.
 
Dikatakannya, kampus yang seharusnya menjadi tempat ilmu pengetahuan dan menghormati keberagaman ternyata menjadi tempat bibit radikalisme dan intoleransi. Bahkan Menristekdikti M Nasir pernah menyebut ada 10 Perguruan Tinggi terpapar radikalisme.
 
"Karenanya kawan-kawan di sini sudah bersepakat, kita akan terus melakukan pendidikan politik kepada adek-adek di kampus. Di sini kami hanya ingin menjaga arah perjuangan agar tidak melenceng, dan arah gerakan moral 98 itu harus kami titipkan ke yang muda-muda," ujarnya. (red)

Berita Lainnya

Index