Ketua DPR Puan Maharani Terancam Digugat ke Pengadilan

Ketua DPR Puan Maharani Terancam Digugat ke Pengadilan
Ketua DPR RI 2019-2024 Puan Maharani mengetuk palu saat memimpin sidang paripurna di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta
JAKARTA - Prof Yusril Ihza Mahendra kembali bikin kaget dunia politik Indonesia. Setelah mengajukan judicial review AD ART Partai Demokrat ke MA, dia kini berniat menggugat Ketua DPR RI Puan Maharani ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
 
Selama ini, hubungan Yusril dengan Puan terlihat adem. Nyaris tak ada konflik atau pertikaian. Belakangan, ternyata Yusril keberatan dengan sikap Puan terkait pemilihan calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
 
Calon yang dimaksud adalah Nyoman Adhi Suryadnyana, seorang PNS aktif pada Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan.
 
Sebelumnya, DPR mengesahkan Nyoman Adhi Suryadnyana sebagai anggota BPK menggantikan Bahrullah Akbar yang akan berakhir masa jabatannya pada 29 Oktober 2021.
 
Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad yang memimpin rapat paripurna DPR, Selasa (21/9) lalu.
 
Seluruh peserta rapat paripurna menyetujui hasil laporan yang disampaikan Komisi XI DPR yang kemudian diikuti ketukan palu pimpinan rapat paripurna.
 
Pemilihan itu dianggap Yusril cacat hukum. Ultimatum ke Puan pun muncul. Jika Puan tidak membalas surat yang dikirim Yusril, dia akan menggugat Ketua DPR itu.
 
"Puan Maharani harus menjawab surat itu dalam 10 hari. Jika tidak dijawab, maka kami akan melayangkan gugatan ke PTUN," kata Yusril, Kamis (7/10/2021) kemarin dilansir WE Online.
 
Yusril mengatakan, dia adalah kuasa hukum Dadang Suwarna yang juga peserta seleksi calon anggota BPK. Dadang yang mendapat suara urutan kedua setelah Nyoman, menyampaikan keberatan kepada Ketua DPR.
 
Itu lantaran Nyoman dinilai tidak memenuhi syarat, berdasarkan precedent yang berlaku di DPR.
 
"Maka dengan ini, Dadang yang berada di urutan kedua setelah Nyoman berhak menggantikannya," ujar Yusril.
 
Karena itu, Yusril meminta Puan Maharani membatalkan hasil pengangkatan Nyoman sebagai anggota BPK.
 
"Ketua DPR agar melakukan koreksi atas pemilihan calon anggota BPK yang cacat hukum itu. Seyogianya DPR membatalkan hasil pemilihan itu," ungkapnya.
 
Hasil pemilihan itu disebut tak bisa diteruskan kepada Presiden dan diterbitkan Keppres pengangkatan Nyoman Adhi Suryadnyana sebagai anggota BPK defenitif.
 
Bila tetap berlanjut, Yusril menilai kemungkinan besar Presiden akan kalah menghadapi gugatan di PTUN.
 
"Karena Keputusan Presiden itu nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan baik," tutur Yusril.
 
Sebelumnya Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyatakan hal yang sama, bahwa MAKI akan menggugat Ketua DPR RI Puan Maharani ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
 
"MAKI akan gugat Puan Maharani perkara seleksi calon BPK," kata Boyamin melalui keterangan tertulis di Jakarta, Agustus lalu.
 
Adapun gugatan tersebut terkait dengan penerbitan Surat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia Nomor PW/09428/DPR RI/VII/2021 tanggal 15 Juli 2021 kepada pimpinan DPD RI tentang Penyampaian Nama-Nama Calon Anggota BPK RI yang berisi 16 nama.
 
Dari 16 orang tersebut terdapat dua orang calon Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia yang diduga tidak memenuhi persyaratan, yaitu Nyoman Adhi Suryadnyana dan Harry Z. Soeratin.
 
Berdasarkan daftar riwayat hidup Nyoman Adhi Suryadnyana pada periode 3 Oktober 2017-20 Desember 2019, ia menjabat sebagai Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Manado (Kepala Satker Eselon III), yang notabene adalah pengelola keuangan negara (Kuasa Pengguna Anggaran/KPA).
 
Sedangkan, Harry Z. Soeratin pada Juli 2020 lalu dilantik oleh Menteri Keuangan sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), yang notabene merupakan jabatan KPA.
 
"Kedua orang tersebut harusnya tidak lolos seleksi karena bertentangan dengan Pasal 13 huruf j UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK," ucap Boyamin seperti dikutip Antara.
 
Pasal tersebut menyatakan bahwa untuk dapat dipilih sebagai Anggota BPK, calon harus paling singkat telah dua tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara.
 
Oleh karena itu, MAKI menyimpulkan bahwa ketentuan pasal tersebut mengandung makna, seorang Calon Anggota BPK dapat dipilih untuk menjadi Anggota BPK, apabila Calon Anggota BPK tersebut telah meninggalkan jabatan (tidak menjabat) di lingkungan pengelola keuangan negara paling singkat dua tahun terhitung sejak pengajuan sebagai Calon Anggota BPK.
 
MAKI merasa perlu mengawal DPR untuk mendapatkan calon anggota BPK yang baik dan integritas tinggi, termasuk tidak boleh meloloskan calon yang diduga tidak memenuhi persyaratan. (red)

Berita Lainnya

Index