Pukat Harimau Beroperasi di Perairan Rohil, Pemda Tidak Berdaya

Pukat Harimau Beroperasi di Perairan Rohil, Pemda Tidak Berdaya
Salah satu Kapal jaring pukat harimau yang beroperasi di perairan rokan hilir. (foto nelayan setempat)

ROHIL - Potensi konflik kembali muncul di perairan Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Pemicunya, ratusan kapal jaring pukat harimau (trawl) asal Sumatera Utara (Sumut), yang sudah dilarang oleh pemerintah, dengan bebas menangkap ikan di perairan tersebut.

Beroperasinya kapal-kapal jaring pukat harimau milik cukong-cukong asal Sumatera Utara di perairan Kabupaten Rokan Hilir, dikeluhkan oleh nelayan tradisional setempat. Sementara instansi terkait terkesan tutup mata atas pelanggaran itu.

"Pemerintah Rokan Hilir, Provinsi Riau dan instansi terkait lainnya belum berbuat apa-apa mengatasi potensi konflik ini," kata Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Badan Informasi Nasional, Koordinator Wilayah Rokan Hilir, Rudi Fasa, SE, Ahad 8 Oktober 2017.

Dikatakannya, Pemerintah Daerah Kabupaten Rokan Hilir yang diharapkan menjawab keluhan tersebut terkesan tidak berdaya. Alasannya, kewenangan menyangkut urusan kelautan dan perikanan sudah di tarik ke Pemerintah Provinsi, berdasarkan keputusan pemerintah pusat.

"Saat ini nelayan Rohil masa depannya terancam. SDA bahkan habitat rusak porak poranda oleh mafia cukong-cukong kapal pukat harimau asal Sumut. Laporan yang kami terima, ini semenjak kewenangan urusan kelautan dan perikanan di tarik ke Pemerintah Provinsi," ujarnya.

Diungkapkannya, diperkirakan hampir 132 kapal jaring pukat harimau bergentayangan di laut Rokan Hilir menguras ikan bahkan habitat laut. Kebijakan pemerintah pusat yang mengamputasi kewenangan daerah kabupaten, justru melemahkan pengawasan tentang aturan yang dibuat oleh pemerintah pusat sendiri.

"Kita harapkan seluruh pihak terkait bisa segera memperhatikan ini, menyuarakan keluhan nelayan setempat yang dikhawatirkan dapat memicu konflik di laut, dari instansi terkait, khususnya juga Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Rokan Hilir," harapnya.

Dijelaskannya, pengoperasian jaring pukat harimau (trawl) sudah dilarang oleh Pemerintah Pusat, namun masih saja beroperasi di perairan Kabupaten Rokan Hilir. Anehnya pula, aparat terkait yang diberikan amanah menegakkan aturan tersebut terkesan tutup mata.

"Padahal Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti telah mengeluarkan Permen KP Nomor 2/PERMEN-KP/2015 yang melarang penggunaan jenis jaring tersebut. Peraturan itu adalah penegasan dari pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan," jelasnya.

Selain masalah konflik alat tangkap, tambah Rudi, nelayan Rokan Hilir memiliki pandangan tradisional yang mendesak untuk di identifikasi dan di dokumentasikan, yakni pandangan terhadap ekosistem laut sebagai anugerah dari tuhan yang wajib untuk di jaga kelestariannya.

Sementara itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Riau, Ir. H. Herman, MSi bersama Kabid Kelautan, Yuldasmi, dikonfirmasi wartawan mengatakan, pihaknya memiliki keterbatasan anggaran untuk intens memantau masalah itu di lapangan.

"Kita akan aksi lagi ke lapangan, sementara ini karena anggaran kurang memadai, namun kita akan koordinasi dengan TNI AL dan Polda," kata Kepala Dinas.

Kabid Kelautan DKP Provinsi Riau, Yuldasmi menambahkan, pihaknya hanya memiliki anggaran untuk 2 kali kegiatan patroli selama se-tahun. Kegiatan itu telah dilakukan dalam bentuk sosialisasi kepada masyarakat nelayan.

"Kita tidak bisa sebentar sebentar patroli, se tahun cuma dua kali. Tapi kewenangan juga ada di instansi lain seperti KKP sendiri ada pos pengawasannya, Polair dan juga Lanal. Tapi ini akan kita tindak lanjuti dengan anggaran memadai tahun depan," ucapnya.

Untuk memaksimalkan pengawasan di laut, tambahnya lagi, tahun depan akan dibentuk UPT Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Riau di tiga Kabupaten, yakni Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Bengkalis dan Indragiri Hilir. (san)

Berita Lainnya

Index