Indonesia Diminta Tak Negosiasi dengan China soal Natuna, Ini 4 Alasannya

Indonesia Diminta Tak Negosiasi dengan China soal Natuna, Ini 4 Alasannya
Panglima Kogabwilhan I Laksamana Madya TNI Yudo Morgono menggelar apel pasukan intensitas operasi rutin TNI dalam pengamanan laut Natuna di pelabuhan Selat Lampa, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Foto Dok TNI
JAKARTA — Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai, diskusi bukan menjadi solusi tepat terkait polemik batas wilayah di perairan Natuna, Kepulauan Riau.
 
Hal itu terkait insiden masuknya kapal-kapal nelayan asal China yang dikawal kapal coast guard ke Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna secara ilegal.
 
"Juru bicara Kementerian Luar Negeri China pun menyampaikan bahwa China hendak menyelesaikan perselisihan ini secara bilateral. Rencana China tersebut harus ditolak oleh Pemerintah Indonesia karena empat alasan," ucap Hikmahanto, Minggu 5 Januari 2020, dilansir Kompas.com.
 
Alasan pertama adalah karena China tidak mengakui ZEE Indonesia di Natuna.
 
Hikmahanto menuturkan, poin kedua dan ketiga, negosiasi tidak mungkin dilakukan karena dua poin dasar China mengklaim Natuna tidak diakui dunia internasional.
 
Kedua dasar tersebut yaitu Nine-Dash Line atau sembilan garis putus-putus serta konsep traditional fishing grounds yang menjadi alasan klaim China atas Natuna.
 
Nine-Dash Line merupakan garis yang dibuat sepihak oleh China tanpa melalui konvensi hukum laut di bawah PBB atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
 
UNCLOS juga tidak mengenal istilah konsep "traditional fishing grounds".
 
Hal itu dikuatkan dengan putusan Mahkamah Arbitrase Internasional atau Permanent Court of Arbitration (PCA).
 
"Dalam putusannya, PCA tidak mengakui dasar klaim China atas sembilan garis putus-putus maupun konsep traditional fishing grounds. Menurut PCA, dasar klaim yang dilakukan oleh Pemerintah China tidak dikenal dalam UNCLOS, di mana Indonesia dan China adalah anggotanya," kata Hikmahanto Juwana.
 
"Jangan sampai posisi yang sudah menguntungkan Indonesia dalam putusan PCA dirusak dengan suatu kesepakatan antar-kedua negara," kata dia.
 
Keempat, jangan sampai Pemerintah Indonesia dianggap mencederai politik luar negeri bebas aktif.
 
Menurut dia, utang yang dimiliki Indonesia dari China tidak boleh menjadi dasar kompromi terhadap kedaulatan Indonesia.
 
"Ketergantungan Indonesia atas utang China tidak seharusnya dikompromikan dengan kesediaan Pemerintah untuk bernegosiasi dengan Pemerintah China," ucap Hikmahanto Juwana.
 
Dipatahkan PBB
 
Dasar klaim wilayah China atas hampir seluruh perairan Laut China Selatan sebenarnya sudah dipatahkan putusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2016.
 
Ini bermula setelah Filipina mengajukan mengajukan gugatan ke Mahkamah Arbitrase Internasional atau Permanent Court of Arbitration (PCA). Ini merupakan kelembagaan hukum di bawah PBB.
 
PCA telah membuat putusan mengenai sengketa di Laut China Selatan yang diajukan oleh Filipina, meski Beijing secara tegas menolak putusan PCA itu.
 
Bahkan, sejak awal China menolak gugatan Filipina itu, dengan dalih gugatan itu adalah cara konfrontatif untuk menyelesaikan sengketa.
 
Absennya China dalam persidangan, seperti ditegaskan oleh PCA, tidak mengurangi yurisdiksi PCA atas kasus tersebut.
 
Secara umum putusan Mahkamah mengabulkan hampir semua gugatan Filipina, dan menihilkan klaim maupun tindakan RRT di Laut China Selatan. China juga menyatakan tidak terikat terhadap putusan PCA itu.
 
Meski gugatan ke PCA diajukan oleh Filipina, putusan tersebut punya implikasi pada negara-negara ASEAN yang selama ini bersengketa dengan China di Laut China Selatan, tak terkecuali Indonesia. (red)

Berita Lainnya

Index