Presiden AMA Riau : Kasus Rempang Berpotensi Pantik Kembali Isu Riau Merdeka

Presiden AMA Riau : Kasus Rempang Berpotensi Pantik Kembali Isu Riau Merdeka

ROKAN HULU - Peristiwa Beberapa minggu terakhir yang ramai di media sosial ataupun mainstream, Bentrokan tragis di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Masyarakat etnis melayu rempang, bentrok dengan aparat gabungan TNI, Polri, serta Ditpam Badan Pengusahaan (BP) Batam sehingga menimbulkan korban kedua belah pihak.

Tembakan gas air mata, tangisan, bahkan pekikan ibu-ibu dan anak sekolah, yang dibalas lemparan batu dari pihak Masyarakat seperti yang di gambarkan media, bak rasa berada di tengah “perang saudara” antar sesama anak bangsa.

Aparat yang harusnya bertindak humanis malah tersulut represif demi memuluskan keinginan Pemerintah demi memberi “karpet merah” bagi investor asing dengan mengusir Masyarakat Adat Melayu di 16 kampung tua di Pulau Rempang Atas Nama Proyek Strategis Nasional (PSN).

Peristiwa tersebut sontak memantik respon solidaritas Masyarakat melayu tidak hanya dari Riau Daratan dan Kepulauan Riau, namun juga etnis melayu Se-Nusantara bahkan dunia.

Presiden Aliansi Masyarakat Adat (AMA) Melayu Riau Heri Ismanto Menyoroti, Sikap pemerintah yang memakai cara-cara represif dalam merelokasi Masyarakat adat 16 kampung tua di Pulau rempang merupakan bentuk pengingkaran terhadap Konstitusi sesuai Pasal 18B ayat (2) UUD RI 1945.

Dalam konstitusi UUD 1945 jelas menyebutkan, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

“Masyarakat Adat Melayu Rempang itu merupakan bagian Sejarah dari kerajaan riau lingga dengan merelokasi mereka seperti ada upaya menghapus jejak Sejarah Masyarakat melayu rempang yang sudah tinggal di sana jauh sebelum Indonesia Merdeka, tapi kenyataanya apa? Masyarakat di sana justru ingin di usir dari tanahnya sendiri atas nama investasi asing yang akan masuk,” ungkap Heri.

Hery juga mengaku heran, kenapa pemerintah ingin sekali memindahkan Masyarakat pulau rempang meskipun di sana terdapat jejak-jejak peradaban Masyarakat melayu Kerajaan Riau lingga atas dasar investasi asal china.

Apalagi, kita tahu Trade record investasi china selama ini kerap memicu konflik terutama terkait masalah masuknya tenaga kerja Asing asal china yang menyebabkan problematika sosial dan masalah lingkungan di beberapa daerah di tanah air, justru tak menjadi pertimbangan pemerintah dengan tetap merelokasi Masyarakat rempang.

“Kami menduga ada upaya privatisasi pulau rempang oleh investor asing agar leluasa mengeksploitasi pulau rempang dan bebas   memasukan TKA mereka ke sana (Rempang-red). Saya kira ini berbahaya, karena akan berdampak terhadap timbulnya masalah sosial, lingkungan terutama keamanan negara,” ujarnya.

“Namun celakanya, negara justru mengamini itu, padahal kita tahu batam, rempang dan galang itu adalah pulau terluar negara kita, bagaimana mungkin aspek itu tidak menjadi pertimbangan dan penduduk asli kita justru yang menjadi pertahanan terakhir negara justru di usir dari sana,” tambahnya.

Kasus Rempang Berpotensi Pantik Kembali Isu Riau Merdeka

Lebih jauh, Presiden AMA Riau Heri Ismanto mengingatkan Pemerintah, agar hati-hati menangani kasus Pulau Rempang. Menurut dia, permasalah ini dapat berpotensi memantik Kembali isu “Riau Merdeka” di kalangan etnis Masyarakat melayu.

Apalagi, dari beberapa informasi yang kita baca dari media, penolakan relokasi warga rempang itu tidak hanya didasarkan terhadap keinginan mempertahankan tanah leluhur mereka, akan tetapi juga dilatarbelakangi atas ketidakpercayaan Masyarakat kepada pemerintah terkait janji manis relokasi.

Sejarah mencatat, Gerakan Riau Merdeka (GRM) pernah muncul di era Tahun 1999. Gerakan itu muncul di picu dari disparitas kesejahteraan Masyarakat Riau dengan daerah lain di Tengah melimpahnya sumber daya alam di Riau. Kondisi ini memunculkan opini Pemerintah RI “menganaktirikan Masyarakat Riau” sehingga menyebabkan aksi.

“Saya melihat benang merah permasalahan ini sama seperti yang terjadi pada saat Gerakan Riau Merdeka muncul di era tahun 1999. Ada kebijakan negara yang melukai rasa keadilan Masyarakat adat melayu dan ini Bukan hanya dirasakan oleh Masyarakat rempang tapi Masyarakat adat melayu secara umum di riau.” ungkap Heri.

Jika dulunya, Gerakan Riau Merdeka dipicu dari rasa ketidakadilan atas pembagian dana bagi hasil SDA. Gerakan serupa juga berpotensi muncul di picu rasa ketidakadilan terhadap pengakuan eksistensi terhadap hak ruang hidup Masyarakat adat melayu riau.

Dalam perpanjangan Izin Hak Guna usaha (HGU) Misalnya, keberatan Masyarakat adat selalu terpinggirkan dengan dalih administrasi negara, padahal secara faktual, mereka sudah lama mendiami daerah konsesi tersebut, namun karena tidak adanya pengakuan negara terhadap hak-hak tradisional, mereka selalu menjadi pihak yang di kalahkan ketika berhadapan dengan Koorporasi.

“Beberapa kasus perpanjangan HGU misalnya di Okura, Rokan Hulu, Pelalawan dan beberapa daerah di riau kami menemukan indikasi pengangkangan hak-hak Masyarakat adat di sana tapi pemerintah selalu beralibi terhadap hukum administrasi negara padahal keberadaan Masyarakat adat itu sudah berlangsung lama di daerah tersebut,” terangnya.

Sesuai Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) menjamin pengakuan hak-hak tradisional Masyarakat adat. Bahkan, Perlindungan terhadap masyarakat adat tersebut juga dilindungi dalam beberapa undang-undang seperti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar pokok-pokok Agraria.

Kemudian, Undang-Undang 41 Tahun 1999 tengang kehutanan, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan ruang, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang desa, Undang-undang 23 Tahun 2014 Tentang pemerintah daerah dan Undang-Undang 39 tahun 2014 tentang perkebunan.

Pernyataan Mentri ATR BPN Hadi Tjahyanto yang menyatakan Masyarakat melayu rempang banyak tidak punya sertifikat menjadi salah satu contoh abainya pemerintah dalam melindungi hak-hak tradisional Masyarakat adat.

“Ketika berpolemik, pemerintah selalu menyalahkan Masyarakat tidak punya sertifikat, tidak ada perda Masyarakat hukum adat dan alibi lainya, padahal jika pemerintah benar-benar mengakui hak adat itu, harusnya jauh-jauh hari mereka  mendorong, bukan Ketika ada polemik baru itu yang di jadikan alibi,” tegas dia.

AMA Riau berharap meminta Pemerintah dapat bersikap bijak dalam Penyelesaian Konflik Agraria bukan hanya pulau rempang namun juga konflik lainya yang melibatkan Masyarakat Adat Melayu Riau. Jangan sampai, investasi yang di agung-agungkan pemerintah justru menimbulkan konflik yang menyulut disintegrasi bangsa. (rls)

Berita Lainnya

Index