Riset BRIN: Sidat Sumber Gizi Tertinggi, Kalahkan Salmon dalam Kandungan DHA dan EPA

Kamis, 20 November 2025 | 21:37:33 WIB
Ikan sidat (Antara Foto)

JURNALMADANI – Pemahaman umum masyarakat mengenai sumber daya ikan dengan nilai gizi tertinggi, khususnya kandungan omega-3 (DHA dan EPA), sering kali tertuju pada salmon. Namun, sebuah hasil riset terbaru mengungkapkan fakta yang mengejutkan. Peneliti Ahli Utama dari Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Gadis Sri Haryani, memaparkan bahwa ikan sidat (eel) adalah jawaranya.

Menurut Gadis, di antara salmon, sidat, dan gabus, ikan sidat memiliki kandungan omega-3 tertinggi. Di samping kaya akan nutrisi esensial lain seperti vitamin A, vitamin B kompleks, zat besi, protein, kalori, dan fosfor.

Kandungan gizi tinggi ini memberikan manfaat kesehatan yang signifikan. Secara spesifik, DHA (asam dokosaheksaenoat) berperan krusial dalam mendukung perkembangan dan fungsi otak. Sementara itu, EPA (asam eicosapentaenoat) sangat membantu dalam mengurangi peradangan dan menjaga kesehatan jantung.

"Selama ini, kita selalu mengira salmon yang paling tinggi, ternyata sidat justru memiliki nilai gizi tertinggi," ungkap Gadis Sri Haryani dalam keterangan tertulis dikutip Kamis.

Besarnya potensi ekonomi dan nilai gizi ini menjadikan ikan sidat sebagai salah satu sumber daya perikanan strategis di Indonesia. Oleh karena itu, Gadis menekankan pentingnya pendekatan pengelolaan berkelanjutan dan berbasis sains (science-based management) guna mencegah eksploitasi berlebih yang dapat mengancam populasi sidat di masa mendatang. Pengelolaan yang baik sangat diperlukan mengingat sidat termasuk dalam kategori biologi kritis dengan siklus hidup katadromus yang unik dan rumit. 

Gadis menerangkan bahwa siklus hidup katadromus berarti sidat menetas di laut dalam sebagai leptocephalus (larva belut) yang unik, berbentuk pipih, transparan, dan tidak mampu berenang. Selama perjalanan migrasinya dari perairan laut dalam menuju estuari (muara sungai tempat bercampurnya air tawar dan air laut), ia bermetamorfosis menjadi sidat kaca (glass eel). Siklus hidup yang melibatkan tiga ekosistem laut, estuari, dan air tawar ini membuat populasi sidat sangat rentan terhadap berbagai ancaman ekologis.

Saat ini, tantangan utama yang dihadapi adalah tingginya permintaan pasar dan tekanan penangkapan glass eel di alam liar. Gadis menyoroti bahwa eksploitasi glass eel yang berlebihan, perubahan lingkungan muara, terganggunya pola migrasi, serta perubahan pola musim panen mengakibatkan ketersediaan pasokan untuk industri menjadi tidak stabil. 

"Ketersediaan pasokan glass eel ini mengakibatkan harga fluktuatif di lapangan, dari harga tinggi hingga harga terendah," jelas Gadis. Bahkan, sering terjadi kasus di mana glass eel tidak terserap di pasar industri karena keterbatasan kapasitas hatchery (pembenihan).

Dalam upaya menjaga kelestarian sumber daya dan menjamin pemanfaatan berkelanjutan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menerbitkan kebijakan pembatasan kuota penangkapan glass eel dan penetapan ukuran minimal ekspor sidat sebesar 150 gram per ekor. Regulasi ini bertujuan untuk mengurangi tekanan eksploitasi terhadap populasi liar sekaligus mendorong peningkatan nilai tambah melalui kegiatan pembesaran di dalam negeri. Sayangnya, efektivitas kebijakan ini masih terhadang berbagai hambatan.

"Efektivitas kebijakan tersebut masih menghadapi berbagai tantangan, antara lain keterbatasan kapasitas pembesaran dan hatchery, ketergantungan pada pakan impor, serta lemahnya sistem pengawasan dan koordinasi antar pemangku kepentingan,” urai Gadis.

Ia menegaskan, bahwa tata kelola ekologi harus menjadi fondasi mutlak bagi hilirisasi industri sidat. Tata kelola ini mencakup implementasi rencana aksi nasional, penerapan konservasi berbasis bukti ilmiah, serta perlindungan struktur dan fungsi alami ekosistem perairan. (mcr)

Terkini