Jurnalmadani - "Kuningan —sebuah kawasan di bilangan Jakarta Selatan— banjir di bulan Juli, never in my wildest dream. Krisis iklim itu nyata dan makin deket," tulis pegiat tata kota @stravenues dalam akun X-nya.
"Bulan Juli bisa banjir, emang pertanda krisis iklim," tulis aktivis transportasi publik Adriansyah Yasin Sulaeman dalam akun X @adriansyahyasin.
"Biasanya Jakarta banjir itu di awal tahun (up to Maret lah). Lah ini bulan Juli, yg bahkan 'seharusnya' nggak ujan. 1. Climate change 2. Urban planning," tulis warganet bernama Zakka Fauzan dalam akun X @zakkafm.
Tiga suara berbeda—seorang pegiat tata kota, aktivis transportasi publik, dan seorang warganet—berkumpul dalam satu kesimpulan: banjir di Jakarta pada bulan Juli adalah alarm nyata dari perubahan iklim.
Musim kemarau yang semestinya kering justru diguyur hujan ekstrem, sehingga membuat kawasan sibuk seperti Kuningan, Jakarta Selatan tergenang air. Fenomena yang dulu dianggap mustahil kini menjadi bagian dari keseharian yang mengganggu.
Di balik curahan emosi dan kekagetan itu, tersirat kekhawatiran kolektif bahwa krisis iklim bukan lagi wacana masa depan. Ia telah hadir, menjungkirbalikkan prediksi cuaca dan menantang logika perencanaan kota.
Kemarau basah
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menjelaskan, meski secara klimatologis seharusnya Indonesia telah memasuki musim kemarau, sebagian besar wilayah masih mengalami curah hujan di atas normal akibat anomali BMKG mencatat sebanyak 30 persen zona musim di Indonesia telah memasuki periode musim kemarau. Angka ini hanya mencapai setengah dari jumlah zona musim yang secara klimatologis seharusnya mengalami musim kemarau pada akhir Juni.
Menurut BMKG dan sejumlah pusat iklim global, fenomena ENSO (suhu muka air laut di Samudra Pasifik) dan IOD (suhu muka air laut di Samudra Hindia) diperkirakan akan tetap berada dalam kondisi netral sepanjang semester kedua tahun 2025.
Kondisi ini menunjukkan bahwa curah hujan di sejumlah wilayah Indonesia berpotensi tetap tinggi, meskipun secara klimatologis seharusnya memasuki musim kemarau. Fenomena ini dikenal dengan istilah kemarau basah.
Kemarau basah merupakan hasil dari kombinasi berbagai faktor lokal dan global yang memengaruhi dinamika atmosfer di wilayah Indonesia. Beberapa faktor tersebut antara lain pergerakan angin di atmosfer, pengaruh fenomena global seperti Madden Julian Oscillation (MJO), gelombang Kelvin dan Rossby, serta dampak perubahan iklim global.
Dwikorita menyebutkan hujan akan terus turun di musim kemarau. Hasil prediksi curah hujan bulanan menunjukkan bahwa anomali curah hujan yang sudah terjadi sejak Mei 2025 akan terus berlangsung, dengan kondisi curah hujan di atas normal terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia hingga Oktober 2025.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang dinaungi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2022 menyebutkan faktor manusia, terutama emisi gas rumah kaca telah memperkuat kontrak antara musim basah dan musim kemarau. Ini menyebabkan wilayah tropis mengalami paduan curah hujan ekstrem dan periode kering panjang secara bersamaan.
IPCC juga mencatat bahwa kejadian hujan ekstrem (heavy precipitation events) telah berpotensi meningkat di sebagian besar daratan, termasuk Asia Tenggara, sebagai akibat dari pemanasan global.
Sementara Jakarta menghadapi banjir di tengah musim kemarau, fenomena serupa juga terlihat di belahan dunia lain. Korea Selatan porak-poranda oleh banjir musim panas 2023 dan Pakistan diterjang ‘monsoon on steroids’ pada 2022. Semua ini membuktikan bahwa perubahan iklim global membawa cuaca ekstrem ke zona-zona musim yang selama ini dianggap stabil.
Peristiwa tersebut memperkuat laporan IPCC yang menyebut bahwa perubahan iklim telah memperparah ketidakpastian cuaca global, dan negara-negara tropis seperti Indonesia berada di garis depan risiko.
Tantangan tata kota
Perubahan iklim yang kian tak menentu telah meningkatkan risiko hujan ekstrem di luar pola musim. Di tengah tantangan tersebut, kapasitas infrastruktur perkotaan masih terus diupayakan untuk menyesuaikan diri.
Banjir yang terjadi menjadi pengingat penting bahwa penguatan sistem drainase dan tata kelola ruang kota perlu dipercepat agar lebih adaptif terhadap dinamika iklim baru.
Di Jakarta, studi yang dilakukan oleh Ahli Teknik Sipil Dikman Maheng dkk. pada 2023 menyebutkan bahwa sejak awal 2000-an, peningkatan curah hujan intensitas tinggi diperparah oleh laju perubahan penggunaan lahan perkotaan, penyusutan ruang terbuka hijau, sementara kawasan beton dan aspal membesar.
Hal ini dinilai dapat meningkatkan suhu kota, memperkuat proses pembentukan awan hujan, dan memperparah banjir.
Hujan ekstrem karena perubahan iklim adalah pemicu, tapi kekurangan infrastruktur adaptif dan tata ruang yang rapuh adalah bahan bakar bagi banjir yang melanda kota.
Untuk menahan laju banjir kemarau basah, manusia tidak cukup hanya bergantung pada alam.
Di tengah tekanan cuaca yang semakin ekstrem, pemerintah pusat dan daerah menyadari perlunya langkah cepat dan menyeluruh. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno pada awal 2025 menegaskan bahwa penanganan banjir di kawasan perkotaan, khususnya Jabodetabek, tidak lagi bisa mengandalkan pendekatan parsial.
Pemerintah membentuk sistem respons terintegrasi yang mencakup modifikasi cuaca, kesiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), serta perbaikan sistem drainase dan pompa air secara masif.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sendiri menyebutkan telah mengoperasikan lebih dari 500 pompa stasioner dan ratusan unit pompa mobile yang tersebar di titik-titik rawan. Selain itu, proyek pengerukan sungai, revitalisasi waduk, dan pembangunan polder baru terus dikebut.
Di sisi lain, pendekatan jangka panjang berbasis ekologi juga mulai dilirik. Proyek naturalisasi sungai, penambahan taman resapan, serta kampanye “zero runoff” di kawasan hunian baru menjadi bagian dari strategi memperbesar kapasitas serapan air kota.
Kebijakan-kebijakan ini tentu belum cukup menyelesaikan seluruh persoalan. Namun, perubahan arah kebijakan menunjukkan adanya pengakuan bahwa krisis iklim telah memaksa kota untuk berbenah lebih cepat, sekaligus meyakinkan bahwa banjir tak bisa lagi dipandang sebagai peristiwa tahunan semata.
Banjir di bulan Juli bukan sekadar anomali cuaca, melainkan sinyal keras bahwa kita hidup dalam dunia yang sedang berubah. Perubahan iklim telah membalikkan musim, mempercepat siklus bencana, dan menguji daya tahan kota serta masyarakatnya.
Namun, seberapa cepat kita menyadari bahwa ini bukan masalah sementara? Bahwa adaptasi bukan pilihan, melainkan keharusan?
Di tengah derasnya air yang datang di luar musim, ada satu pertanyaan yang mengalir bersama: Apakah kota ini—dan kita semua di dalamnya—siap hidup di tengah iklim yang tak lagi bisa ditebak?
Karena jika Juli bisa banjir, maka masa depan tak lagi bisa kita baca dengan kalender lama.
(ANTARA NEWS)