Satelit NASA Ungkap Parahnya Kabut Asap akibat Karhutla di Indonesia

Satelit NASA Ungkap Parahnya Kabut Asap akibat Karhutla di Indonesia
Gambar satelit NASA menangkap parahnya kabut asap di Kalimantan. Foto NASA
JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto, baru-baru ini mengeluarkan pernyataan aneh. Menurutnya, kondisi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia tidaklah seburuk sebagaimana diberitakan banyak media massa akhir-akhir ini.
 
"Kemarin ketika saya mengunjungi bersama Presiden, antara realitas yang dikabarkan dengan realitas yang ada itu, sangat berbeda. Dan ternyata kemarin waktu kita di Riau, itu tidak separah yang diberitakan," kata Wiranto di Gedung Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu 18 September 2019.
 
Meski begitu, satelit NASA berhasil menangkap parahnya kabut asap akibat karhutla di Indonesia pada Minggu 15 September lalu. Gambar itu ditangkap oleh satelit Aqua milik NASA menggunakan teknologi Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS).
 
Dalam pemberitahuan tertulisnya, NASA Earth Observatory menjelaskan bahwa mereka mengidentifikasi ada lebih dari 4.000 titik panas di Indonesia. Kebanyakan berada di Kalimantan dan Sumatera.
 
Akibat asap itu, kualitas udara di berbagai kota di sana sudah dalam tahap berbahaya. Di Pekanbaru misalnya, pada Jumat 13 September 2019 pagi pukul 09.00 WIB, AirVisual mencatat nilai air quality index (AQI) kota tersebut adalah 320 (Hazardous) atau sudah berbahaya.
 
Bahkan, Kota Kuching di Malaysia sempat menjadi kota dengan tingkat polusi udara terburuk di dunia, dengan nilai AQI 247 berdasarkan data AirVisual, imbas kabut asap karhutla di Sumatera dan Kalimantan. Selain itu, sejumlah sekolah di Indonesia dan Malaysia terpaksa diliburkan akibat kabut asap ini.
 
Di samping itu, Satelit Landsat 8 menangkap adanya kebakaran di daerah perkebunan sawit yang ada di sebelah selatan Kalimantan. Gambar ini didapat berkat instrumen Operational Land Imager (OLI).
 
"Ini mengingatkan kita pada kejadian 2015. Tapi pada 2019 penumpukan kabut asap dimulai beberapa minggu agak terlambat karena ada hujan di pertengahan Agustus," kata Robert Field, peneliti NASA Goddard Institute for Space Studies, seperti dikutip Gizmodo.
 
"Jumlah titik api yang didapat satelit tidak setinggi tahun 2015, tapi ada peningkatan aktivitasnya hari ke hari yang bisa disamakan dengan 2015 lalu," lanjut dia dilansir Kumparan.
 
Ia menambahkan bahwa banyak titik api yang tidak terdeteksi satelit. Ini karena kebanyakan berada di bawah tanah atau tertutup kabut asap.
 
NASA Earth Observatory juga mengungkap gambar keberadaan karbon organik di langit Indonesia. Gambar itu dibuat oleh GEOS forward processing (GEOS-FP) yang mengkombinasikan data dari satelit, pesawat, dan stasiun pemantau.
 
Dengan mempelajari temperatur udara, kelembapan, dan angin, para peneliti bisa memvisualisasikan serta memprediksi pergerakan kabut karbon organik yang dihasilkan api karhutla. Di gambar NASA, tampak karbon tidak banyak bergerak dan terkonsentrasi di atas sumber api karena angin yang tidak besar. (red)

Berita Lainnya

Index