JURNALMADANI - Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar, menyoroti temuan adanya 4.132 personel Polri aktif yang menduduki jabatan sipil.
Menurutnya, kondisi tersebut tidak hanya menabrak aturan, tetapi juga berpotensi menimbulkan pemborosan anggaran negara.
“Bayangkan, 4.132 personel polisi mendapat gaji ganda dari negara. Ini jelas dapat ditafsirkan sebagai tindakan yang secara sengaja merugikan keuangan negara,” ujar Ficar dalam keterangannya, Sabtu (15/11/2025).
Ficar menjelaskan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah menegaskan bahwa perwira Polri aktif wajib mengundurkan diri atau pensiun apabila hendak menduduki posisi di luar institusi kepolisian.
Ia menilai, norma tersebut sebenarnya sudah termuat dalam UU Kepolisian, namun kembali diperjelas agar tidak lagi terjadi penyimpangan.
Termasuk dalam sorotannya adalah Ketua KPK, Setyo Budiyanto, yang sebelumnya disebut masih berstatus polisi aktif. Ficar menilai kondisi ini ironis mengingat KPK merupakan lembaga yang bertugas memberantas korupsi.
Namun, klarifikasi kemudian disampaikan oleh Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, yang menegaskan bahwa Setyo telah purnawirawan sejak 1 Juli 2025.
“Yang ironis, ini juga dialami oleh seorang Ketua KPK yang notabene sebelumnya adalah polisi aktif. Jika seperti ini, tidak keliru orang menyebutnya sebagai bentuk korupsi di atas upaya pemberantasan korupsi,” kata Ficar menambahkan.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menegaskan bahwa Setyo terpilih sebagai Ketua KPK melalui proses seleksi yang terbuka dan sesuai aturan.
“Pemilihan pimpinan KPK dilakukan melalui Pansel yang memberi kesempatan kepada seluruh WNI yang memenuhi syarat,” ujarnya.
Sementara itu, Mahkamah Konstitusi pada Kamis (13/11/2025) resmi mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 28 ayat (3) dan penjelasannya dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri.
Putusan bernomor 114/PUU-XXIII/2025 itu pada intinya menghapus ketentuan yang selama ini memungkinkan anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil tanpa melepas statusnya terlebih dahulu.
Keputusan MK tersebut menjadi landasan hukum baru yang mempertegas batasan antara tugas kepolisian dan penugasan di luar struktur Polri.
Pemerintah dan lembaga terkait kini didorong untuk segera menyesuaikan aturan pelaksana, agar tidak terjadi lagi praktik rangkap jabatan yang dinilai merugikan negara. (*)

.jpg)