Pemilu 14 Februari 2024

Pemilih Dilarang Membawa Telepon Genggam atau Alat Perekam Gambar ke Bilik Suara

Pemilih Dilarang Membawa Telepon Genggam atau Alat Perekam Gambar ke Bilik Suara
Warga memasukkan surat suara saat simulasi pemungutan suara Pemilu 2024 di Halaman Kantor Wali Kota Jakarta Pusat, Rabu (17/1/2024). (Liputan6.com/Herman Zakharia)

JAKARTA - Dalam menghadapi Pemilihan Umum 2019 yang dilaksanakan serentak pada 14 Februari 2024, masyarakat Indonesia di seluruh dunia diingatkan untuk memahami dengan jelas aturan terkait pemungutan suara.

Salah satu aspek yang menjadi sorotan adalah larangan memotret atau memfoto surat suara di dalam bilik suara. Hal ini bukan tanpa alasan, mengingat maraknya praktik politik uang dan upaya menjaga prinsip asas pemilu.

Beberapa warga Indonesia yang berada di luar negeri telah menjadi perhatian karena mengunggah foto surat suara mereka di media sosial, memunculkan pertanyaan hukum seputar tindakan tersebut. Apalagi perkembangan teknologi dan kebiasaan mengunggah foto di media sosial dapat membuka celah untuk penyalahgunaan, terutama oleh mereka yang berada di luar negeri.

Pertanyaan seputar hukum memfoto surat suara semakin relevan, mengingat kebutuhan untuk memahami batas-batas legalitas dalam menggunakan media sosial sebagai saluran ekskresi.

Lalu apa latar belakang hukum terkait memfoto surat suara dalam Pemilihan Umum, serta implikasi hukum yang mungkin dihadapi oleh mereka yang terlibat dalam tindakan tersebut?.

Dalam proses demokrasi Pemilihan Umum 2024, masyarakat Indonesia memegang peranan penting dalam menentukan masa depan negara. Pilihan mereka tidak hanya mencakup calon presiden dan wakil presiden, tetapi juga melibatkan calon legislator yang dianggap sebagai perwakilan andalan.

Namun, dalam pelaksanaannya, perlu diingat bahwa terdapat larangan yang harus diindahkan, salah satunya adalah larangan untuk memotret atau memfoto, termasuk swafoto atau selfie, dengan surat suara yang telah dipilih saat berada di bilik suara.

Ketentuan larangan ini diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), Nomor 25 Tahun 2023, Pasal 25 Ayat 1 (e) yaitu mengingatkan dan melarang pemilih membawa telepon genggam dan/atau alat perekam gambar lainnya ke bilik suara.

 

Selanjutnya, Pasal 28 ayat 2 berbunyi, pemilih tidak boleh mendokumentasikan hak pilihnya pada bilik suara.

 

Larangan ini tidak hanya berasal dari norma pemilu, tetapi juga sebagai upaya pencegahan terhadap praktik politik uang.

Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), menekankan bahwa pemilihan umum bersifat pribadi, dan tindakan memotret kertas suara dapat memberikan celah bagi praktik money politics, yang merupakan salah satu modus yang perlu dihindari.

Menurut pasal tersebut, Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) memiliki kewajiban untuk mengingatkan dan melarang pemilih membawa telepon genggam dan/atau alat perekam gambar lainnya ke bilik suara. Hal ini sejalan dengan prinsip Luber Jurdil (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil) yang menjadi dasar asas pemilu di Indonesia.

Dengan demikian, larangan memotret atau memfoto surat suara tidak hanya sebuah aturan teknis, tetapi juga merupakan langkah preventif untuk menjaga integritas dan keabsahan proses demokrasi.

Melalui pemahaman akan hukum ini, diharapkan masyarakat dapat turut berperan dalam menciptakan Pemilihan Umum yang berkualitas, bebas dari praktik politik uang, dan tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi yang telah menjadi landasan negara Indonesia.

Boleh Foto Saat Perhitungan

Menurut Pasal 52 ayat (7) dan (8) Peraturan KPU No. 9 Tahun 2019 yang mengubah Peraturan KPU No. 3 Tahun 2019, pihak yang diberi wewenang, seperti saksi, pengawas TPS, pemantau pemilu, atau masyarakat yang turut hadir pada rapat penghitungan suara, diberikan kesempatan untuk melakukan dokumentasi.

Pasal ini secara tegas menyatakan bahwa saat proses penghitungan suara, mereka dapat memotret atau merekam formulir model C1.Plano untuk pemilu presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota setelah ditandatangani oleh KPPS.

Dalam rangka memastikan transparansi dan akuntabilitas proses demokrasi, dokumentasi ini melibatkan salinan formulir A.3-KPU, Model A.4-KPU, dan Model A.DPK-KPU setelah rapat pemungutan dan penghitungan suara berakhir. Dokumentasi tersebut, yang dapat berupa foto atau video, memberikan kesempatan kepada warga untuk memperoleh bukti visual yang sah dan sahih terkait hasil penghitungan suara.

PKPU No. 9 Tahun 2019 memberikan peluang bagi warga untuk memotret hasil penghitungan, menegaskan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam mengawasi dan mendokumentasikan tahap-tahap krusial dalam proses pemilihan umum. Dengan demikian, ketentuan ini memperkuat prinsip transparansi dan partisipasi publik dalam mengamati dan merekam proses demokrasi yang berlangsung.

Cara Mencoblos dalam Pemilu

Dalam Peraturan KPU No. 3 Tahun 2019, dijelaskan enam langkah tata cara pemberian suara yang harus diikuti oleh pemilih pada saat pemilihan umum :

Pertama, pemilih perlu memastikan bahwa surat suara yang diterimanya telah ditandatangani oleh Ketua KPPS.

Kedua, pemberian suara dilakukan dengan cara mencoblos. Pemilih dapat menggunakan alat coblos yang telah disediakan berupa paku.

Ketiga, pada surat suara pasangan calon presiden, pemilih perlu mencoblos satu kali pada nomor, nama, foto pasangan calon, atau tanda gambar partai politik pengusul dalam satu kotak.

Kemudian pemberian suara pada surat suara anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan surat suara pemilu anggota DPD. Pada jenis surat suara ini, pemilih diminta mencoblos satu kali pada nomor, atau tanda gambar partai politik, dan/atau nama calon dalam partai politik yang sama.

Saat proses pemilihan pada 14 Februari 2024 mendatang, masyarakat akan menerima lima jenis surat suara, yaitu untuk Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Sebagai tips penting, setiap pemilih disarankan untuk memeriksa dan meneliti surat suara yang diterimanya, memastikan bahwa dalam keadaan baik dan tidak rusak. Jika, dalam keadaan tertentu, surat suara rusak atau pemilih melakukan kesalahan dalam mencoblos, mereka berhak meminta surat suara pengganti kepada Ketua KPPS. Penggantian ini hanya dapat dilakukan satu kali, sehingga pemilih diingatkan untuk melakukan proses pemilihan dengan hati-hati untuk memastikan suara mereka terhitung dengan benar. (*)

Berita Lainnya

Index