Apdesi Minta Kepala Desa Boleh Berpolitik Praktis

Apdesi Minta Kepala Desa Boleh Berpolitik Praktis
Ketua Umum Apdesi Sindawa Tarang (kiri) dan Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI) Sumaryoto. (ist)

JAKARTA - Pemilu 2019 mungkin menjadi batas akhir netralitas Kepala Desa (Kades). Pasalnya, Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) menuntut agar Kepala Desa diberi hak dan kebebasan untuk berpolitik praktis.

"Kami sudah geregetan. Kami tak mau lagi menjadi penonton," ungkap Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi), Dr H Sindawa Tarang, dilansir dari tribunnews, Kamis pekan lalu, 8 Februari 2018, di Jakarta.

Larangan dan sanksi bagi kades berpolitik praktis, baik dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) 2018, Pemilu Legislatif (Pileg) 2019 dan Pemilu Presiden (Pilpres) 2019, kata Sindawa, tertuang dalam Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Nomor 273/3772/JS tertanggal 11 Oktober 2016 sebagai penegasan Pasal 70 Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Pasal 71 ayat (1) UU Nomor 10/2016 menyebutkan, pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri dan Kepala Desa atau sebutan lain lurah, dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.

"Larangan kades berpolitik praktis juga secara tegas diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang menyebutkan Kades dilarang membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain dan/atau golongan tertentu. Kades juga dilarang menjadi pengurus parpol dan ikut serta dan/atau terlibat kampanye pemilu dan/atau pilkada," jelasnya, sambil menambahkan, Pasal 29 huruf g UU Desa menyebutkan Kades dilarang menjadi pengurus parpol.

Menurut Sindawa, larangan Kades menjadi pengurus parpol atau berpolitik praktis adalah pembodohan publik dan ketidakadilan demokrasi serta mematikan grass roots (akar rumput) demokrasi, yang mestinya tak terjadi lagi di zaman now.

"Kalau gubernur, bupati dan walikota boleh berpolitik praktis, mengapa kepala desa tidak? Bukankah statusnya sama, yakni penyelenggara negara?," tanya doktor bidang hukum ini.

"Bila ada kades bermain politik praktis maka akan dikenakan sanksi pidana, hal itu diatur dalam Pasal 188 UU Pilkada dengan ancaman hukuman enam bulan penjara," lanjut mantan Kades dua periode di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, ini.

Dirinya memaklumi bila anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dilarang berpolitik praktis, sebagaimana digariskan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, dan juga anggota Kepolisian RI (Polri) sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.

"Kalau TNI dan Polri 'kan tidak dipilih oleh rakyat, jadi kita maklum. Nah, kalau kades 'kan dipilih langsung oleh rakyat, seperti gubernur, bupati atau walikota. Lalu di mana bedanya?," cetusnya.

Kades, tegasnya, juga bukan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tak boleh berpolitik praktis, sebagaimana digariskan Pasal 2 huruf f UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, yakni setiap ASN tidak berpihak dari segala pengaruh mana pun dan tidak memihak kepada kepentingan siapa pun.

"Kades bukan ASN, sehingga selayaknya diberi kebebasan untuk berpolitik praktis di era demokrasi ini terutama menjadi pengurus parpol dan caleg," pintanya.

Untuk itu, lanjut Sindawa, pasca-Pemilu 2019, pemerintah dan DPR RI perlu merevisi UU Pilkada dan UU Desa agar Kepala Desa bisa berpolitik praktis, dengan menjadi pengurus parpol, calon anggota legislatif (caleg), calon kepala daerah, bahkan calon presiden.

Hal itu, menurutnya lagi, sesuai prinsip persamaan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana diamanatkan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak terkecuali.

"Pun Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ingat, Indonesia adalah negara hukum yang menganut prinsip equality before the law (kesetaraan di muka hukum)," tandasnya. (red)

Berita Lainnya

Index